Menyebut nama Desa Kamasan, Klungkung, maka ingatan
kita akan tertuju pada sebentang kanvas berhiaskan tokoh-tokoh
pewayangan. Kamasan memang sudah sangat identik dengan lukisan
tradisional wayang klasik Bali itu. Dari generasi ke generasi, krama
Kamasan begitu suntuk menekuni kesenian warisan leluhurnya. Gemuruh
perkembangan seni rupa dunia yang menawarkan beragam aliran, tak kuasa
membuat mereka berpaling. Bahkan, tidak sedikit krama Kamasan
menggantungkan sumber penghidupannya dari aktivitas berkesenian.
Kamasan adalah sebuah komunitas seniman lukisan tradisional. Begitu
intim dan begitu lama berkembangnya seni lukis tradisional maka para
seniman menyebut hasil-hasil lukisan di sana memiliki gaya (style)
tersendiri yaitu lukisan tradisional Kamasan.
Sesungguhnya bakat seni tumbuh pula pada karya-karya seni lainnya yaitu
berupa seni ukir emas dan perak dan yang terakhir ialah seni ukir
peluru. Meskipun dari segi material yang digunakan kain warna logam
mengikuti perubahan yang terjadi tetapi ciri khasnya tetap tampak dalam
tema lukisan atau ukiran yaitu menggambarkan tokoh-tokoh wayang.
Asal-usul lukisan wayang tradisional gaya Kamasan, menurut I Made
Kanta (1977), merupakan kelanjutan dari tradisi melukis wong-wongan
(manusia dengan alam sekitar) pada zaman pra-sejarah hingga masuknya
agama Hindu di Bali dan keahlian tersebut mendapatkan kesempatan
berkembang dengan baik. Cerita yang dilukis gaya Kamasan banyak yang
mengandung unsur seni dan makna filosofis yang diambil dari Ramayana dan
Mahabharata, termasuk juga bentuk pawukon dan palelidon. Salah satu
contoh warisan lukisan Kamasan telah menghiasi langit-langit di Taman Gili dan Kerthagosa, Semarapura, Klungkung.